“Gang III” Yogyakarta, Lokalisasi pasar kembang,Ada banyak kesan yang saya dapatkan saat pertama kali menginjakkan kaki di Gang III Pasar Kembang, pusat lokalisasi PSK yang terkenal di Yogyakarta, hari ini (19/9/2011). Sudah banyak ulasan maupun laporan jurnalisme yang menjamah lokasi ini. Yang saya tuliskan di sini adalah keadaan terbaru sesuai dan sebatas apa yang saya amati selama “pengintipan” satu jam tadi. Gang III Pasar Kembang Yogyakarta, saat ini berubah modern, dengan beragam metode pemasaran jasa pekerja seks komersial yang lebih cerdas dan up-to-date.
Kawasan Pasar Kembang (Sarkem) adalah satu-satunya kawasan operasional jasa PSK yang dipantau khusus oleh pemerintah daerah Yogyakarta. Letaknya yang persis berdampingan dengan pusat wisata terpopuler Malioboro menjadikan Sarkem spesial. Di kota-kota lain, kebanyakan lokalisasi operasi PSK dilokasikan di pinggiran kota bahkan di sebuah kawasan tertentu yang terpencil. Mengikuti tren wisata yang semakin maju, Sarkem berubah dari sekadar kawasan khusus dengan julukan “hot zone” menjadi blok wisata bagi orang-orang berkebutuhan khusus terkait jasa seks dan pernak-perniknya. Tidak mengherankan, ketika pertama kali berdiri di mulut Gang III, saya sudah menemui kesan manajemen yang tersusun rapi dalam hal penyambutan tamu.
“Mas, mau booking atau cari berita?” kata seorang tukang becak yang menyambut saya. Sebelumnya, Pak Tono menawarkan jasa becak ke Malioboro seperti biasa. Akan tetapi saat melihat saya melangkahkan kaki masuk ke gang, ia mencegat saya lalu menanyakan pertanyaan tersebut. Saya jawab, “Saya mau lihat-lihat saja, Pak.”
Kemudian, Pak Tono menanyakan pertanyaan yang tidak saya duga, “Mas mahasiswa bukan? Kalau betul, maka sekarang waktu yang pas, mahasiswa sebaiknya jalan-jalan kemari sore, jangan malam. Bisa bahaya.” Lalu Pak Tono tersenyum dan berlalu ke dalam gang untuk mengantarkan saya.
Selanjutnya saya dipertemukan dengan seorang pria paruh baya yang sepertinya penduduk setempat. Pak Tono kembali keluar saat selanjutnya saya diantar jalan-jalan oleh Pak Romo (demikian dia minta dipanggil). Pak Romo ini yang kemudian menanyakan pertanyaan yang juga unik bagi saya.
“Mas Fandy baru pertama kali kemari ya. Kalau begitu jangan terlalu ke belakang, kalau hanya mau nanya-nanya sampai di sini saja. Saya akan jawab.”
Saat itu saya berada di persimpangan gang, beberapa meter menjelang sebuah masjid yang terletak di dalam kampung padat tersebut. Walhasil, beberapa informasi yang saya dapatkan dan tuliskan dalam reportasesederhana ini adalah hasil obrolan ringan dan menyenangkan dengan Pak Romo ini.
Kawasan Pasar Kembang sebetulnya terdiri dari beberapa gang dari pangkal hingga ujungnya di kawasan Sosrowijayan. Dari beberapa gang, adalah Gang III yang menjadi pusat operasi kawasan lokalisasi. Pak Romo mengakui, meski sudah dilokalisasi, kegiatan jasa PSK sebetulnya sudah bocor kemana-mana. “Di Jalan Mataram dekat Kali Code sama di depan sekitar stasiun ini sudah ramai kok, di luar gang ada beberapa yang operasi. Tapi kalau mau pusatnya, ya di sini,” jelasnya sambil mengisap rokok.
Sebetulnya beberapa penduduk lokalisasi sempat melayangkan protes kepada beberapa PSK yang keluar dari lokalisasi, karena menurut mereka mengganggu kesepakatan lokalisasi yang bisa berbuntut sanksi dari pemerintah. Lokalisasi yang ditujukan sebagai wadah pemantauan pemerintah terhadap operasi pemberantasan HIV ini seharusnya tidak meluas. Padahal, saat ini, menurut Pak Romo, operasi PSK Sarkem sebetulnya sudah meluas tidak hanya terpusat di beberapa gang yang menjadi lokalisasi.
Dengan wajah kecewa, Pak Romo sempat mengungkapkan kekesalannya juga kepada pihak-pihak yang menghujat lokalisasi. “Lokalisasi itu bagaimanapun tempat para pekerja mencari uang, menghidupi keluarga. Ini pekerjaan profesional, tidak harus selalu dikait-kaitkan dengan urusan moral. Moral itu kembali ke pelakunya masing-masing. Pemerintah Yogya harusnya berterima kasih, Sarkem ini kan pusat perputaran uang yang penting di Malioboro.”
Saya menangkap, maksud Pak Romo kemungkinan adalah bahwa bagaimanapun sebagian uang wisata yang berputar di Malioboro akan beralih ke Sarkem, dan hal itu dihitung sebagai pendapatan penduduk yang menjadi indikator pencatatan di BPS. Tarif standar yang diatur antara Rp 100.000 hingga Rp 500.000 setiap layanan adalah alat pengukur pendapatan yang sangat jelas bagi para pekerjanya.
Data Dinas Sosial DIY pada Desember 2010 mencatat penduduk kawasan lokalisasi Sarkem berjumlah 415 orang pria dan 446 wanita. Setiap penduduk diwajibkan mengikuti program pemantauan virus HIV secara berkala. Meski demikian, menurut Pak Romo, sebetulnya saat dilakukan survey ataupun operasi kesehatan oleh pemerintah, sebagian penduduk bisa saja tidak ada di lokalisasi.
Setelah melakukan pencarian data, saya temukan fakta bahwa kawasan lokalisasi pada jam operasi sebetulnya dilakoni oleh tidak hanya warga asli, tetapi juga para pekerja yang datang dari luar lokalisasi. Pak Romo menjelaskan, setiap lepas maghrib puluhan PSK berdatangan ke lokalisasi dari berbagai daerah sekitar, kemudian berbaur dengan para pekerja yang memang tinggal di Sarkem. Uniknya, sejumlah PSK “luar” ini datang di tempat kerja dengan diantar langsung oleh suami atau pasangan masing-masing.
Lokalisasi Sarkem beroperasi rutin dengan jam puncak antara pukul 20.00 hingga 03.00. Untuk siang dan sore, saat ini disediakan jasa penyediaan informasi bagi pencari berita, ataupun wisatawan yang ingin mengetahui lebih banyak tentang kompleks yang juga adalah pasar pernak-pernik alat seks tersebut. Saat berkunjung sore tadi, saya bertemu dengan beberapa wisatawan asing yang khusus datang untuk mencari berbagai jajanan pernak-pernik, ataupun hewan seperti burung.
Melek Teknologi
Ada satu hal yang membuat saya kagum dengan manajemen pemasaran jasa PSK di Sarkem. Ternyata, saat ini jasa-jasa “malam” sudah dikomunikasikan melalui berbagai jejaring sosial. Pak Romo mengakui, meski dirinya sendiri tidak mampu mengoperasikan komputer, ia mendukung beberapa pekerja yang memutuskan untuk memasarkan jasanya melalui media sosial seperti facebook, twitter, dan pesan singkat.
“Banyak yang memesan lewat SMS, ada juga yang internet langsung ke pekerja, macam-macam. Kalau turis asing biasanya pesan satu-dua hari sebelumnya,” jelasnya. Terang saja, saya langsung mencatat poin penting ini. Dalam pandangan saya, hal ini menunjukkan betapa pola pikir para pekerja di lokalisasi ini telah maju, mungkin tak banyak ditiru para pekerja di lokalisasi kota-kota lain. Pak Romo mengira, modernisasi operasi ini meniru yang terjadi di Bali, dimana para pekerja menerima pesanan melalui berbagai media sosial yang berteknologi.
Selain memanfaatkan teknologi informasi, operasi sarkem juga mengikuti agenda pariwisata yang dipublikasikan Pemkot dan Pemda. Setiap ada gelaran budaya atau wisata di Malioboro dan sekitarnya, lembar-lembar publikasi yang berisi jadwal acara akan diantarkan ke Sarkem oleh beberapa relawan. Tak jarang, para pekerja sengaja mendatangi pusat kegiatan untuk “menjemput” pelanggan.
Risma (nama samaran) yang kebetulan dipanggil oleh Pak Romo untuk menjawab beberapa pertanyaan saya, nampak malu-malu. Sambil merapikan ujung roknya ia menjawab, “Kadang ada juga mahasiswa yang memesan lewat FB, katanya, tapi saya sendiri lebih senang kalau pelanggan datang langsung, ketemu, tawar harga, lalu selesaikan.” Ia pun mengakui, bahwa sejak banyak rekan pekerja yang gemar berjejaring sosial melalui HP, permintaan meningkat meski tidak merata. Sejak itu pula, tambahnya, para pelanggan mulai datang dari kaum mahasiswa dan beberapa pria yang berumur muda, berbeda dengan lima tahun lalu saat FB dan semacamnya belum ada. Risma hanya menjawab dua pertanyaan sebelum akhirnya pamit dan kembali ke rumah tinggalnya.
Suasana sore di Sarkem tak ubahnya pemukiman biasa. Ada beberapa anak kecil yang bermain di jalan gang yang dipasangi tulisan “MATIKAN MESIN, TURUN DARI KENDARAAN”. Di sini tinggal keluarga beberapa generasi. Saya menjumpai warga yang sudah tua, paruh baya, dan juga anak-anak. Tidak pasti, apakah anak-anak ini hanya dibawa mampir kemari atau memang tinggal di sini. Saya tidak menanyakan.
Saat berjalan keluar, saya melihat beberapa nomor HP yang dipajang di satu-dua rumah dan beberapa bagian gang. Entah apa maksudnya, tapi banyak tanda yang menggariskan perkiraan saya bahwa para pekerja di sarkem sangat melek teknologi, dan berdasarkan pengakuan pekerjanya langsung, mereka tidak sungkan-sungkan memakai jejaring sosial untuk melancarkan bisnisnya. Tentunya memang tidak semua PSK di Sarkem memilih jalan itu, sebagian memakai “cara lama” dengan berdiri di depan gang mulai pukul 19.00 setiap malam dan menyapa langsung orang-orang yang melintas. Cara mana yang lebih efektif dan menguntungkan, saya sendiri belum tahu.
Perjalanan singkat saya berakhir sekitar pukul 17.00. Setelah kembali berada di jalan luar, tukang becak tadi tersenyum dan menyambut saya. Setelah memberi tip beberapa ribu rupiah, senyumnya tambah lebar dan manggut-manggut.
Tidak ada data pasti kapan Sarkem berdiri. Beberapa sumber online menuliskan bahwa Sarkem berdiri sejak tahun 1818, di saat masa pemerintahan Hindia Belanda. Satu versi mengatakan, sarkem dulunya adalah kompleks tempat para buruh proyek rel kereta api beristirahat. Pemerintah Hindia Belanda saat itu sangat berorientasi bisnis kapitalis. Mereka membangun Sarkem dengan menyediakan jasa-jasa PSK bagi para pekerja. Dengan demikian, uang-uang gaji yang diterima pekerja proyek kereta api akan kembali ke kantong-kantong bisnis mereka melalui bisnis jasa seks yang mereka bangun. Meski demikian, bisnis ini baru memasuki masa suksesnya sekitar tahun 1850-an.
Saat ini, Sarkem menjadi salah satu ikon wisata terkenal di Yogyakarta. Meski berdampingan langsung dengan wisata belanja dan kultural, Sarkem tidak menjadi lemah identitas dan menyimpan banyak keunikan bagi para pengamat dan penikmatnya. Sistem yang transparan dan tidak bertele-tele dinilai menjadi keuntungan yang bisa didapatkan para pelanggan. Meski demikian, beberapa tulisan media mengungkapkan bahwa pemantauan yang dilakukan pemerintah terhadap kawasan-kawasan lokalisasi seringkali mengalami bias data dan salah sasaran operasi kesehatan. Dan dengan modernisasi operasi yang dilakoni beberapa pekerjanya, Kawasan Gang III Sarkem kini bertahan dan diakui oleh masyarakat Yogya, setelah lebih dari 1 abad berdiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar